Minggu, 01 Januari 2017

Aku dan Wayan





Aku dan Wayan
Oleh : Fanny J. Poyk
Dimuat di Bali Post Agustus 2016
Semoga masih asyik dibaca di Tahun Baru 2017
Nama kekasihku I Wayan Tresna. Bila nama kalian mirip dengannya, jangan salahkan aku. Ia manis, tidak tinggi namun penurut. Dan aku sangat memanjakan sekaligus menguasainya. Ia selalu menuruti permintaanku, entah itu dinamakan cinta atau takut kehilangan, aku tidak pernah tahu. Yang jelas, sejak ia menjadi pacarku, sepertinya ia selalu terobsesi dengan diriku. Kedengarannya aku memang sombong, tapi kenyataannya memang demikian. Wayan, demikian aku selalu memanggilnya, dengan setia selalu menunggu dan mengantarku ke sekolah, ia menunggu di pinggir jalan dekat rumah bersama motor Honda bebeknya yang kala itu menjadi stempel resmi jika seseorang berasal dari kelas menengah sedikit ke atas.
Dari namanya, siapa pun akan tahu kalau ia berasal dari Pulau Bali, pulau dengan ribuan pesona eksotik budaya dan pura-puranya. Desa Wayan bernama Sukawati, sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Gianyar. Dari adat-istiadat Bali, Wayan adalah nama untuk anak pertama. Namun pada kenyataannya ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Begitulah, setelah Ketut abangnya, ia kembali memakai Wayan di depan nama Tresna, nama yang membedakan ia dari ‘Wayan’ lainnya yang ada di pulau dengan suguhan destinasi wisata menawan itu.
Ketika Wayan menyatakan isi hatinya padaku, aku hanya tertawa sekejap. Kala itu kami masih sama-sama duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Wayan berkata kalau ia akan mencintaiku seumur hidupnya asal aku bilang bahwa aku mencintainya. Ya…ya… ucapan cinta meluncur ringan dari bibirku. Tapi sesungguhnya, kelemahan Wayan adalah dia begitu dahsyat mencintaiku, itulah yang membuat aku menemukan lahan baru untuk mengisi perutku yang selalu lapar. Sebagai anak seniman sekaligus penulis miskin, ayahku tak pernah mampu untuk memberiku uang jajan ke sekolah. Bahkan ibuku kerap menulis surat ke bagian administrasi sekolah untuk meminta perpanjangan waktu bila masa bayaran iuran sekolah tiba. Kejadian seperti itu sudah biasa. Dan aku kerap mengempeskan ban sepeda I Ketut Sadha petugas penagihan bayaran uang sekolah jika ia hendak mengumumkan nama-nama yang nunggak membayar di depan kelas. Aku tak hanya malu, namun bisa saja Wayan menganggapku remeh nantinya. Tapi pada kenyataannya Wayan sangat memperhatikan keberadaanku. “Aku takut kau nanti dikeluarkan dari sekolah. Ini, pakailah uang tabunganku untuk membayar uang sekolahmu yang sudah menunggak tiga bulan itu!” katanya sembari memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu.
Tentu saja aku gembira. Wayan yang lugu ternyata cintanya tidak main-main. Ia seperti Romeo yang sangat mencintai Juliet. Sementara aku sang Juliet masih memandangnya sebelah mata. Di mataku Wayan hanya seorang anak kecil yang mencari cinta tanpa pernah memperhitungankan apakah sosok yang ia cintai benar-benar berhati tulus seperti harapannya. Dan aku, ‘si pecundang’ yang punya segala cara untuk ‘mempermainkannya’ menjadikan ia semacam ‘ladang’ di kala rasa lapar menggerogoti usus. Wayan yang kuanggap anak ingusan itu, ternyata suatu waktu tidak seperti apa yang kugambarkan. Ia hendak menciumku. Tatkala kutampar wajahnya dan kutendang ia dengan jurus karate yang kukuasai, ia terpana. “Uuuuhhh sakit tau, kau kan pacarku. Masak aku minta cium saja tidak boleh,” katanya dengan wajah meringis.
“Tidak boleh!” jawabku tegas. “Kau tahu apa yang Ayahku katakan bila aku memperbolehkanmu menciumku?”
Wayan menggeleng.
“Dengar ya, Ayahku bilang, jika laki –laki dan perempuan berdekatan lalu berciuman, maka libido sex akan menjalar dari kaki hingga ke ubun-ubun. Naluri sex itu akan menguasai seluruh tubuh. Lalu dari sekedar ciuman, akan merambah ke pegang-memegang, ke pencet-memencet dan seterusnya beralih ke hal yang paling sensitif…”
“Apa itu yang paling sensitif?” Wayan menatapku dengan pandangan menggoda.
“Sudah, jangan pura-pura bego kamu. Ujung-ujungnya perempuan yang menderita. Dia akan hamil, lalu melahirkan tanpa ayah, menjadi komoditi sex dan bisa saja menjadi piala bergilir atau pelacur yang tidur dari satu lelaki ke lelaki lain. Itulah yang ayahku bilang kalau perempuan telah tercerabut dari akarnya. Selanjutnya, setelah tubuh dan jiwanya hancur, dia akan seperti robot tanpa jiwa, melayani kebutuhan para lelaki seperti mesin. Kau tahu itu semua berawal dari mana?” Cecarku.
Wayang melongo. “Tapi cinta dan berciuman, itu kan alami. Kau mencintaiku, kan?” tanyanya dengan suara terbata-bata.
Aku memandang Wayan dengan sorot mata serius. Kataku dalam hati, cinta? Aku belum menemukannya padamu Wayan. Yang kucari adalah sosok cerdas, memiliki visi dan misi yang kuat dan tentu saja mapan dari segi penghasilan. Dan kau? Kurasa kau belum memiliki semua kriteria itu. Kau hanya seorang pecinta bodoh yang masih dirasuki rasa yang kuat bahwa cintamu padaku benar-benar cinta yang muncul dari lubuk hatimu yang terdalam. Cinta tanpa pertimbangan.
Wayan tersentak ketika ia sadar bahwa aku telah mengelabui rasa yang kuat yang ia berikan padaku. Tatkala lelaki yang kuidam-idamkan hadir dan aku jatuh cinta padanya, ia memandang semua itu dengan hati bagai ditusuk sembilu. “Kau menghianatiku, ternyata kau tidak pernah mencintaiku,” katanya dengan perasaan hancur yang fatal. Ia menangis terguguk seperti anak kecil. Lalu ia mogok dan mengancam untuk tidak mengikuti ujian akhir sekolah.
“Apa salahku?” tanyaku dengan nada datar tanpa rasa salah.
Wayan meradang, ia terus menangis. Dan perpisahan itu benar-benar terjadi. Ia memutuskan untuk tidak mau bertemu denganku lagi. Itulah kisah cinta singkatku dengannya. Ketika kami usai mengikuti ujian akhir SMA, Wayan datang di antar ayahnya untuk mengikuti ujian susulan. Dan aku melenyapkan diri dari pandangannya, melanjutkan pendidikanku ke tanah Jawa. Saat itu bisa kupastikan cinta Wayan yang seumur jagung padaku, telah pupus terhapus angin kemarau di bulan Juni, bulan di mana hembusan udara dingin bertiup dari benua Australia.
***
Langit di atas pulau Bali cerah. Aku berjalan perlahan di halaman bekas sekolahku yang kini telah berubah menjadi Akademi Perhotelan. Pasar Kreneng yang berdekatan dengan sekolah tempat kami ‘nongkrong’ melihat penjual batu akik, sudah berubah, sedikit lebih modern. Penjual buah-buahan yang dulu selalu memberiku sisa buah yang tak laku jika aku lapar, masih ada. Ia sudah menjadi begitu tua. Aroma keringat Wayan serasa menusuk lubang hidungku. Tiga puluh tahun telah berlalu. Hai, apa kabarmu Wayan? Tanyaku pada diri sendiri, mengulik kembali kenangan yang pernah ada. Rambutku banyak yang memutih, kurasa dia juga. Penyakit turunan mulai menggerogoti tubuhku, diabetes keparat ini kadang membuat tubuhku kerap lunglai. Aku mencari-cari jejak Wayan di antara kisi-kisi jendela kelas yang pernah kudiami. Hanya imaji tentangnya yang muncul di pelupuk mataku. Ah Wayan, samakah kau kini seperti diriku? Aku perempuan paruh baya yang hidup sendiri, tanpa suami tanpa anak. Kekasih yang dulu mematahkan cintamu padaku, ternyata tak seperti yang kuharapkan. Dia pergi setelah tahu aku tak pernah bisa memberikannya keturunan. Kurasa kau juga akan begitu Wayan. Pria Bali sepertimu tentunya memerlukan pewaris untuk kelanjutan kehidupanmu dan keluarga besarmu. Untung aku membelot darimu, menjadi pengkhianat yang membuatmu terluka. Ya kau beruntung…
“Aku sama tak beruntungnya seperti dirimu, Anjeli!” katamu ketika kita bertemu di sebuah kafe di depan gang menuju ke rumahmu. “Kau semakin menawan dan matang,” katanya lagi.
“Apa kabar isteri dan anak-anakmu?” tanyaku.
Lama Wayan terdiam. “Dan kau apa kisah tentang suamimu yang keren itu?”
Aku menyeruput minuman dingin tanpa gula yang ada di hadapanku. Sengaja aku tak mau menatap matanya, sebab ada genangan air di sudut mataku. Tanya dan jawaban menjadi satu kesatuan yang sangat menyakitkan bila diungkapkan dengan ucapan. Diam sejenak lebih bermakna, dan kami saling tatap, saling memandang melalui mata rabun yang mulai menyerang kornea kami.
“Aku manusia bebas kini.” Ujarku ringan.
Wayan melihat mataku sejenak, “Aku punya dua anak,” ucapnya.
“Kau masih bernasib baik, memiliki dua anak. Sedang aku?” Aku tertawa meringis. “Untung aku tidak menikah denganmu.”
“Aku yang tidak beruntung.” Wayan berkata dengan suara berat.
“Maksudmu?” tanyaku penuh selidik.
Wayan tak menjawab.
Tak seperti kisah yang kuharap akan bermuara pada akhir yang membahagiakan, lalu kututurkan semuanya pada Wayan. “Aku memperoleh perlakuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang parah selama menjadi isteri Nathan.” Ucapku. “Selain aku memang tak bisa memberikannya anak, hinaan demi hinaan, kata-kata kasar, dan tamparan adalah makanan fisik yang membuatku menderita penyakit mental yang cukup parah. Aku sempat menjadi pasien dokter jiwa. Nathan suamiku, dengan sifatnya yang posesif, paranoid, pencemburu parah, kekanak-kanakkan, dan sadis telah mengambil harga diriku sebagai perempuan. Aku telah tercerabut dari akar keperempuananku, sehingga ketika dia mengoyak-ngoyak tubuhku, aku bagai mahluk tak berharga lagi, dia tak menganggapku sebagai manusia.” Lanjutku.
Lama kami terdiam.
“Mengapa dia seperti itu? Apakah kau menghianatinya?” Tanya Wayan.
“Tidak. Ternyata dia sosok manusia yang memiliki kelainan jiwa, psikopat terselubung. Temperamental. Dan manusia yang tidak memiliki hati nurani. Aku telah salah pilih.”

Wayan menatapku dalam-dalam. Aku juga menatapnya dengan irama dan getar rasa yang tidak bisa kudeteksi. “Aku selalu terkenang bau keringatmu…” kataku akhirnya.
Kali ini Wayan terkekeh. “Baunya bikin mual, ya?” tanyanya.
Aku tahu Wayan berusaha mengalihkan seluruh lukaku. Kuhapus air mata yang menggantung di pelupuk mataku.
“Kau sudah terlalu banyak menangis, jangan menangis lagi Angeli… aku senang melihatmu. Rasanya seperti mimpi.” Wayan memegang jemariku. Ia menatapku lagi. Lalu katanya, “Jangan takut, tak akan ada libido di aliran jemariku. Aku sudah mati rasa. Yang ada hanya rasa gembira dan bahagia melihatmu masih sehat dan cantik.”
Wahai, aku kembali cengeng, air mataku menetes deras membasahi pipi. “Maafkan aku telah menghianatimu Wayan, maafkan…”
Dua hari setelah Wayan berjumpa denganku, ia datang ke losmen tempatku menginap. Ia duduk di ruang depan losmen sembari mengungkapkan apa yang ia rasa. Begitulah setelah kena stroke, seluruh uangnya habis dikuras sang isteri yang kabur dengan laki-laki lain. Ia menjadi manusia tak berdaya baik dari segi materi maupun jasmani. Ditambah dengan bisnis travelingnya yang bangkrut, Wayan merasa dunianya sudah berakhir. “Dua anakku kini ikut Ibu mereka. Aku sendirian.” Kisahnya.
“Lalu?” Mataku menatapnya penuh selidik. Aku membaca ke mana arah ucapannya.
“Bisakah kita bersama lagi?”Tanyanya dengan wajah serius.
Aku tercekat. Mengucapkan kata untuk memoles kembali kisah yang telah retak memang mudah. Tetapi di balik itu banyak pihak yang harus dilibatkan. Pertama keyakinan kami berbeda, kedua aku sudah paruh baya dan sakit-sakitan, ketiga aku tak punya deposito, berobat pun memakai BPJS. Aku hanya berharap dari gaji PNS dengan golongan 3A. Keempat, aku telah frigid, tak ada ketertarikan akan sex baik di jiwa dan ragaku. Semua organ libido di tubuhku telah mati rasa. Semuanya itu kuceritakan pada Wayan.
“Aku juga.” Kata Wayan. “Kita tidak butuh itu semua. Masalah keyakinan, aku tak bisa memaksamu untuk ikut agamaku. Aku tak bisa menjamin kau akan masuk surga atau tidak karena aku tak tahu di mana tempat itu berada. Agama ada di hatiku, Tuhan maha tahu segalanya. Jika aku berbuat baik atau jahat, maka tempat aku berada kelak sudah disiapkan olehNya. Jadi selama kita masih diberikan rasa cinta, mengapa kita tidak melaksanakannya? Aku cinta padamu Anjeli. Sejak dulu, cintaku bukan hanya karena libido semata, cinta yang benar-benar tulus yang kubawa hingga aku mati, sungguh…”
Ah, lagi-lagi aku menangis. Melalui jemari rapuhku yang penuh dengan keriput, kuusap wajah Wayan dengan penuh kasih. Wajah kekanakkan yang menyimpan ribuan rindu untukku. “Ya, ternyata aku juga mencintaimu Wayan…” bisikku perlahan, nyaris tak terdengar…
***
Depok Juli 2016